GCG BUKAN PANACEA - Koran Sindo
Kehancuran jawara-jawara bisnis kelas wahid seperti Enron Corporation, Konsultan Arthur Anderson, Consesco, Global Crosing, WordCom, Tyco, Maxwell Comunication Corporation, MirorGroup Newspaper, Parmalat, HIH Insurance, One-Tell Ltd, Baring Future ataupun Paregrime yang terjadi pada awal dekade 2000 membuat dunia bisnis terperangah. Betapa tidak, perusahaan-perusahaan tersebut merupakan pebisnis terkemuka. Namun lebur dalam waktu sekejap. Apa penyebabnya? Sejumlah sumber berkesimpulan karena lemah didalam menerapkan good corporate governance (GCG). Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge menjelaskan kelemahan tersebut tercermin dalam empat hal: (1) Lemahnya peranan Board of Directors (BoD) dalam mengendalikan pengelolaan perusahaan; (2) Semakin bebasnya manajemen perusahaan mengelola harta dan utang perusahaan dan mengambil keputusan-keputusan penting yang bersangkutan dengan kelangsungan hidup perusahaan; (3) Tidak transparan, akurat dan tepat waktunya penggunaan laporan perkembangan bisnis dan keuangan oleh BoD kepada pemegang saham dan kreditur; (4) Banyak kasus auditor mengaudit laporan keuangan perusahaan tidak bekerja dibawah pengawasan komite audit dan tidak bebas dari pengaruh manajemen senior perusahaan.
***
***
Berkaca dari fenomena yang terjadi, kalangan bisnis berbondong-bondong bergegas membenahi GCG. Tidak terkecuali dunia usaha di Tanah Air. Perusahaan-perusahaan BUMN, industri perbankan nasional, terlebih lagi korporasi-korporasi yang telah go public segera mengumandangkan GCG sebagai ‘kredo’ yang wajib dibumikan sehingga gencar dikampanyekan beberapa tahun terakhir. Namun jika kita mencermati secara lebih jernih segala sesuatunya maka ada hal yang sangat ‘janggal’. Apa itu? Mari kita teliti secara seksama! Tanda tanya besar terlontar. Mengapa keruntuhan raksasa-raksasa bisnis papan atas dapat terjadi di negara-negara yang tidak hanya memahami secara utuh akan keniscayaan GCG akan tetapi telah mengimplementasikanya dengan cara yang sebaik-baiknya. Menyitir ungkapan dari Djokosantoso Moeljono: Bagaimana mungkin audit disebuah sistem manajemen di negara yang semoderen, secanggih, dan se-good-corporate-governance Amerika (termasuk negara-negara maju lainya) dapat ‘kebobolan’?. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa ada ‘kejanggalan’ pada hasil kesimpulan yang menyatakan bahwa biang kerok penyebab kebangrutan perusahaan-perusahaan itu karena lemah dalam penerapan GCG. Untuk mempertegas duduk persoalan, mari kita angkat kasus Enron dan Konsultan Arthur Anderson. Semua mahfum bahwa Enron tergolong pebisnis yang ‘the best’, Bahkan Konsultan Arthur Anderson merupakan ‘suhu’ GCG yang mengajarkan ilmu ini kepada banyak sekali klien di manca negara. Dapat kita cermati pula bahwa Enron merupakan perusahaan raksasa ke-7 dalam ukuran nilai pasar, terbesar dibidang energi dan perdagangan energi yang listed di NYSE; menguasai bisnis jaringan pipa di daratan Amerika hingga 34.000 miles. Sebelum kejatuhan, bisnis mereka berkembang pesat. Penjualan Enron pernah menembus US$ 100 milyar dengan jumlah karyawan mencapai 20.000. Sementara Konsultan Arthur Anderson pernah berjaya sebagai the big five konsultan yang sangat ulung, binis mereka merambah keseluruh pelosok dunia. Perusahaan ini bukan konsultan sembarangan. Apa arti semua ini? Enron dan Konsultan Arthur Anderson paham betul keutamaan GCG. Logika sederhananya adalah bagaimana mungkin Enron dapat listed di NYSE kalau tidak melaksanakan GCG. Bukankan Negeri Paman Sam merupakan negara yang sangat ketat mewajibkan pelaksanaan GCG?, terlebih lagi bagi perusahaan publik. Kemudian bagaimana mungkin Konsultan Arthur Anderson dapat berjaya menjadi konsultan kalau mereka ‘pikun’ tidak mengerti GCG? Lalu, dimana letak kesalahnya? Mengapa kesimpulan banyak kalangan menyatakan bahwa semua perusahaan-perusahaan terbaik tersebut lemah didalam menerapkan GCG?.
****
Sesungguhnya, mereka bukan lemah menerapkan GCG. Akan tetapi ogah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik. Karenanya sangat cocok bila dikatakan bahwa mereka miskin integritas. Lebih tepatnya lagi adalah karena orang-orang kunci yang memegang tampuk kuasa perusahaan kering integritas. Terbukti dari hasil analisis Jill dan Aris Solomon yang menyatakan bahwa penyebab utama kejatuhan Enron berawal dari watak korup para anggota BoD. Selama masa jabatannya orang-orang dalam BoD melakukan berbagai macam kecurangan (fraudulents) demi kepentingan diri mereka sendiri. Chief Financial Officer dan Cheift Executive Officer Enron menciptakan pos-pos laporan keuangan yang tidak diungkapkan secara transparan, tidak tepat waktu dan tidak akurat. Korupsi dan kolusi dimulai dari pucuk pimpinan. Sehingga tak pelak lagi praktik-praktik kotor merambah hingga ke level bawah. BoD Enron memanipulasi pos-pos neraca dan perkiraan laba/rugi dengan mengelembungkan jumlah keuntungan perusahaan. Sementara pada waktu yang bersamaan Konsultan Arthur Anderson sebagai external auditor dan konsultan manajemen Enron ‘tidak’ berhasil melaporkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Menurut Stuart L. Gilian dan John Martin hal ini disebabkan karena Konsultan Arthur Anderson menerima consulting fees yang sangat fantastis sehingga bersedia melakukan kompromi terhadap temuan auditnya. Oleh karenanya mudah dipahami jika putaran roda usaha mereka berubah menjadi binal dan liar seperti tampak dari perilaku mereka yang berbisnis secara hanky-pangky melecehkan GCG. Tidak peduli (di negara-negara maju) GCG merupakan sebuah imperatif lengkap dengan code of conduct dan segenap perangkatnya. Begitu ironis, masih juga terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap GCG. Sehingga Djokosantoso Moeljono sampai pada premis bahwa ada sesuatu yang ‘lebih dalam dari GCG’ yang dijabarkan sebagai berikut: (1) Organisasi hidup untuk mengkreasikan nilai bagi lingkungannya. Jika organisasi tidak mampu lagi memberikan nilai tersebut, ia akan hilang atau mati, atau pindah dan berganti menjadi organisasi lain; (2) Untuk dapat mengkreasikan nilai organisasi perlu dimanajemeni. Artinya organisasi perlu manajemen untuk membuatnya mampu mengkreasikan nilai dengan efisien. Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan, instrumen baru: GCG; (3) Jadi diperlukan GCG untuk memastikan bahwa manajemen berjalan dengan baik. Namun, organisasi digerakkan manusia-manusia. GCG berjalan jika SDM secara internal mempunyai value atau sistem nilai yang mendorong mereka untuk menerima, mendukung dan melaksanakan GCG. Sistem nilai yang ada pada individu-individu tumbuh di dalam perusahaan dan digunakan sebagai sistem perekat yang dikenal sebagai corporate culture. Dengan demikian good corporate culture merupakan inti dari GCG dimana GCG berperan untuk memastikan atau menjamin bahwa manajemen dilaksanakan dengan baik. Manajemen yang baik akan mengembangkan organisasi. Untuk mencapai keberhasilan organisasi perusahaan, diperlukan rumusan akan tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan sebenarnya digerakan oleh value dari korporasi, baik dalam bentuk muatan maupun cara. Jadi kesimpulannya adalah ’sesuatu yang lebih dalam lagi’ itu tidak lain integritas insan-insan perusahaan yang terlahir dari ’rahim’ good corporate culture. Contoh kasus yang terjadi pada bisnis perbankan dan perdagangan internasional berikut membuktikan argumen ini valid. Saul Daniel Rumeser menyatakan bahwa ada sederet risiko yang mengancam eksportir, importir maupun bank yang berbisnis di sektor perdagangan internasional dengan memanfaatkan medium Leter of Credit (LC). Semua risiko tersebut dapat dimitigasi -setidaknya bisa dieliminir- kecuali melibatkan orang dalam disuatu bank atau perusahaan; maka bablas semua. Fraud niscaya terjadi, secanggih apapun GCG yang dibangun. Kasus L/C Bank BNI yang ramai di ’gunjing’kan beberapa waktu lalu merupakan contoh nyata. Padahal –sebagaimana yang diungkapkan oleh Sutan Remy Sjahdeini- sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C Bank BNI sudah baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun. Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup apabila budaya kerja SDM bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik. Bank tetap bobol.
*****
****
Sesungguhnya, mereka bukan lemah menerapkan GCG. Akan tetapi ogah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik. Karenanya sangat cocok bila dikatakan bahwa mereka miskin integritas. Lebih tepatnya lagi adalah karena orang-orang kunci yang memegang tampuk kuasa perusahaan kering integritas. Terbukti dari hasil analisis Jill dan Aris Solomon yang menyatakan bahwa penyebab utama kejatuhan Enron berawal dari watak korup para anggota BoD. Selama masa jabatannya orang-orang dalam BoD melakukan berbagai macam kecurangan (fraudulents) demi kepentingan diri mereka sendiri. Chief Financial Officer dan Cheift Executive Officer Enron menciptakan pos-pos laporan keuangan yang tidak diungkapkan secara transparan, tidak tepat waktu dan tidak akurat. Korupsi dan kolusi dimulai dari pucuk pimpinan. Sehingga tak pelak lagi praktik-praktik kotor merambah hingga ke level bawah. BoD Enron memanipulasi pos-pos neraca dan perkiraan laba/rugi dengan mengelembungkan jumlah keuntungan perusahaan. Sementara pada waktu yang bersamaan Konsultan Arthur Anderson sebagai external auditor dan konsultan manajemen Enron ‘tidak’ berhasil melaporkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Menurut Stuart L. Gilian dan John Martin hal ini disebabkan karena Konsultan Arthur Anderson menerima consulting fees yang sangat fantastis sehingga bersedia melakukan kompromi terhadap temuan auditnya. Oleh karenanya mudah dipahami jika putaran roda usaha mereka berubah menjadi binal dan liar seperti tampak dari perilaku mereka yang berbisnis secara hanky-pangky melecehkan GCG. Tidak peduli (di negara-negara maju) GCG merupakan sebuah imperatif lengkap dengan code of conduct dan segenap perangkatnya. Begitu ironis, masih juga terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap GCG. Sehingga Djokosantoso Moeljono sampai pada premis bahwa ada sesuatu yang ‘lebih dalam dari GCG’ yang dijabarkan sebagai berikut: (1) Organisasi hidup untuk mengkreasikan nilai bagi lingkungannya. Jika organisasi tidak mampu lagi memberikan nilai tersebut, ia akan hilang atau mati, atau pindah dan berganti menjadi organisasi lain; (2) Untuk dapat mengkreasikan nilai organisasi perlu dimanajemeni. Artinya organisasi perlu manajemen untuk membuatnya mampu mengkreasikan nilai dengan efisien. Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan, instrumen baru: GCG; (3) Jadi diperlukan GCG untuk memastikan bahwa manajemen berjalan dengan baik. Namun, organisasi digerakkan manusia-manusia. GCG berjalan jika SDM secara internal mempunyai value atau sistem nilai yang mendorong mereka untuk menerima, mendukung dan melaksanakan GCG. Sistem nilai yang ada pada individu-individu tumbuh di dalam perusahaan dan digunakan sebagai sistem perekat yang dikenal sebagai corporate culture. Dengan demikian good corporate culture merupakan inti dari GCG dimana GCG berperan untuk memastikan atau menjamin bahwa manajemen dilaksanakan dengan baik. Manajemen yang baik akan mengembangkan organisasi. Untuk mencapai keberhasilan organisasi perusahaan, diperlukan rumusan akan tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan sebenarnya digerakan oleh value dari korporasi, baik dalam bentuk muatan maupun cara. Jadi kesimpulannya adalah ’sesuatu yang lebih dalam lagi’ itu tidak lain integritas insan-insan perusahaan yang terlahir dari ’rahim’ good corporate culture. Contoh kasus yang terjadi pada bisnis perbankan dan perdagangan internasional berikut membuktikan argumen ini valid. Saul Daniel Rumeser menyatakan bahwa ada sederet risiko yang mengancam eksportir, importir maupun bank yang berbisnis di sektor perdagangan internasional dengan memanfaatkan medium Leter of Credit (LC). Semua risiko tersebut dapat dimitigasi -setidaknya bisa dieliminir- kecuali melibatkan orang dalam disuatu bank atau perusahaan; maka bablas semua. Fraud niscaya terjadi, secanggih apapun GCG yang dibangun. Kasus L/C Bank BNI yang ramai di ’gunjing’kan beberapa waktu lalu merupakan contoh nyata. Padahal –sebagaimana yang diungkapkan oleh Sutan Remy Sjahdeini- sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C Bank BNI sudah baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun. Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup apabila budaya kerja SDM bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik. Bank tetap bobol.
*****
Menurut pendapat saya pribadi :
GCG adalah penting untuk dilaksanakan oleh para pebisnis, namun pada kenyataannya GCG tidak lebih dari sekedar bangunan yang tampak mewah nan megah namun sangat rapuh jika tidak ditopang dengan integritas insan-insan yang menjalankannya dari buah good corporate culture yang dibangun suatu perusahaan. Sehingga bangunan yang mewah nan megah itu tidak akan ada gunanya bahkan mengancam keselamatan dan nyawa pemilik serta siapapun yang berada disekitarnya karena segera akan roboh –tunggu waktunya saja- karena tidak dikukuhkan dengan fondasi yang kokoh. Namun saya yakin jika para pebisnis dan para petinggi negeri ini dapat menjalankan GCG dengan baik maka tidak mustahil negara ini akan maju dan perekonomian dapat bangkit dan tidak bobrok seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar