expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 22 November 2010

Tugas Softskill Etika Profesi Akuntansi - GCG

Apa itu GCG ?
Secara umum istilah governance lebih ditujukan untuk sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan, dalam arti lebih ditujukan pada tindakan yang dilakukan eksekutif perusahaan agar tidak merugikan para stakeholder. Good Corporate Governance memang menyangkut orang (moralitas), etika kerja, dan prinsip-prinsip kerja yang baik.
Ada empat model pengendalian perusahaan :
1. Simple financial model.
Ada konflik kepentingan antara pemilik dan manajer. Karena tidak memiliki saham, dikhawatirkan manajer akan banyak merugikan pemilik saham. Maka diperlukan kontrak insentif (misalnya hak pemilikan, bonus, dll), atau aturan-aturan yang melindungi kepentingan pemilik.
2. Stewardship model. Berbeda dengan model pertama, manajer dianggap steward, sehingga tidak terlalu perlu dikontrol. Ini bisa terjadi pada perusahaan keluarga, dimana direksi dikendalikan ketat oleh pemegang saham, sehingga diperlukan direktur yang independen.
3. Stakeholder model.
Perusahaan merupaka satu sistem dari stakeholder dalam suatu sistem masyarakat yang lebih luas. Suara stakeholder diakomodasi dalam struktur dewan direksi. Karyawan diusahakan bekerja seumur hidup.
4. Political model.
Pemerintah memiliki pengaruh besar, misalnya dalam mengatur jumlah maksimum kepemilikan saham, dll.
Pada prakteknya, GCG dilaksanakan dengan gabungan dari empat hal diatas. Tujuannya adalah bagaimana mengarahkan dan mengontrol perusahaan melalui distribusi hak/tanggungjawab semua pihak dalam perusahaan.


PRINSIP-PRINSIP GCG YANG BAIK
Transparancy
Penmgungkapan informasi merupakan hal penting, sehingga semua pihak berkepentingan tahu pasti apa yang telah dan bisa terjadi.
Laporan tahunan perusahaan harus memuat berbagai informasi yang diperlukan, demikian pula perusahaan go-public. Persyaratan untuk ini antara lain disusun oleh Komite Nasional Bagi Pengelolaan Perusahaan Yang Baik (KNPPB).
Fairness
GC yang baik mensyaratkan adanya perlindungan untuk hak minoritas. Perlakuan yang sama dan adil pada semua pemegang saham, melarang kecurangan insider trading, dll. KNPPB mensyaratkan minimal 20% direksi berasal dari luar yang tidak ada hubungan dengan pemegang saham dan direksi.
Accountability
Ada pengawasan yang efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi. Ada pertanggung-jawaban dari komisaris dan direksi, serta ada perlindungan untuk karir karyawan. Perlu ditetapkan berapa kali rapat dalam kurun waktu tertentu, serta berbagai sistem pengawasan yang lain.
Responsibility
Perlu dipastikan adanya kepatuhan perusahaan pada peraturan dan undang-undang yang berlaku. Misalnya dalam PT terbuka perlu adanya sekretaris perusahaan.
Ada lagi yang menambahkan asas disiplin, independency, dan social-awareness, check and balance, dan social involvement.
Etika Kerja
GC lebih banyak mengatur komisaris dan direksi, namun prinsip-prinsip GC harus diangkat menjadi etika kerja perusahaan. Diperlukan penerapan prinsip-prinsip CG dalam perilaku kerja karyawan perusahaan. Sebagai contoh, inilah beberapa kode etik yang disusun oleh sebuah komite di luar negeri ;
Kewajiban karyawan pada perusahaan :
· Menghindari gangguan yang tidak masuk akal pada proses produksi.
· Menggunakan kemampuan dan mengembangkan potensi sebanyak mungkin, khususnya bila baru saja mendapat pelatihan.
· Tidak membocorkan rahasia perusahaan.
· Jujur dan melaporkan setiap tindakan yang membahayakan.
· Menghormati kontrak kerja.
· Tidak melakukan hal-hal yang merugikan pemegang saham.
Kewajiban karyawan pada manajer :
· Mendukung dan membantu untuk memenuhi kewajiban etis dan komersial.… dst
Kewajiban karyawan pada karyawan lain:
· Tidak melakukan tindakan yang salah pada karyawan lain,
· Tidak mengintimidasi karyawan lain
Kewajiban karyawan pada masyarakat luas :
· Memberikan perhatian pada kesehatan lingkungan
Good Corporate Governance dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan semua pihak yang berhubungan dengan perusahaan (stakeholders). Diharapkan hal ini akan segera bisa dirumuskan lebih lanjut dan diterapkan dalam perusahaan-perusahaan.
Memang masih banyak hal yang harus dipikirkan, antara lain :
Apakah bentuk akhir penerapan GCG ini hanya pengawasan yang lebih ketat? Apakah dampaknya pada inovasi dan kreativitas ? Apakah bentuknya bisa lebih diarahkan bersifat positif, bukan hanya larangan-larangan saja, dll dsb.
Diolah dari berbagai sumber, antara lain Warta BRI no. 04/XXV/2001 dan berbagai sumber lain.
Mengapa GCG bagi bank begitu penting?
Sumber: Bisnis Indonesia, Selasa, 21 Februari 2006
Pekan lalu Bisnis Indonesia menyelenggarakan diskusi ahli mengenai Aplikasi Good Corporate Governance (GCG) Perbankan, dengan narasumber Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah serta melibatkan 20 bankir dari bank BUMN, swasta maupun asing di Jakarta.Persoalan GCG di industri perbankan tetap menjadi masalah krusial yang harus diperhatikan setiap pemangku kepentingan yang terlibat dalam industri itu. Terkait dengan diskusi tersebut, berikut artikel ekonom Bisnis, Rofikoh Rokhim.

Barangkali masih banyak pihak yang menganggap bahwa good corporate governance (GCG) adalah euphoria karena seperti menjadi jargon saja paska krisis ekonomi 1997/1998.

Semua lembaga internasional, regional dan lokal, ramai-ramai mengusung tema GCG itu untuk menyoroti memburuknya kondisi ekonomi, sosial dan politik di negara berkembang, termasuk Indonesia. Tidak ketinggalan kalangan pebisnis dan akademik ramai membicarakannya.
Krisis ekonomi membuka borok praktik buruk perbankan. Krugman (1998) menyebutnya bahwa krisis ekonomi di Asia-termasuk Indonesia-tidak lebih karena praktik buruk perbankan. Hal itu terjadi karena liberalisasi perbankan yang tidak disertai sistem pengawasan dan rambu-rambu pengelola yang baik.
Di Indonesia, tidak lain adanya Pakto 88 yang membuat bank tumbuh dengan modal rendah (Rp10 miliar), bankir karbitan dengan pengalaman minim, serta tata kelola dan pengawasan yang buruk. Hal itu membuat sebagian besar perbankan Indonesia mengalami gangguan mendadak ketika krisis ekonomi tiba. Selain karena pengelolaan banknya sendiri yang jelek, memburuknya kinerja korporasi, yang menjadi pelanggan, juga turut semakin membuat perbankan dalam kondisi sulit.
Korporasi di Indonesia masih bertumpu pada kredit perbankan, ketika dunia usaha melesu, kemampuan pengembalian kredit korporasi melemah. Ujungnya, perbankan tidak dapat bergerak, kredit macet dan pembukukan kinerja negatif terjadi.

Akibatnya, GCG amat mendesak untuk direalisasikan. Mengapa? Indonesia adalah negara yang berbasis pada sistem keuangan perbankan seperti layaknya sistem keuangan di negara berkembang lainnya. Bank masih merupakan sumber pendanaan memfasilitasi kredit modal kerja dan investasi, terutama untuk perusahaan baru baik skala besar, menengah dan kecil, selain untuk kegiatan ekspansi industri. Intinya, bank merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan yang diberikan (King dan Levine, 1993).
Oleh karena itu, dengan adanya pengelolaan perbankan yang baik melalui aplikasi GCG maka hal ini akan meningkatnya efisiensi perbankan dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi mengingat perbankan mempunyai sumbangan besar dalam perekonomian (Levine 1997, 2004).
Jika perbankan efisien maka hal ini akan membawa dampak positif bagi peningkatan keuntungan bank, besaran dana intermediasi bank, membaiknya kualitas pelayanan kepada nasabah, mendorong kemanan operasional, kesehatan perbankan serta yang paling penting keuntungan kepada shareholder dan stakeholder (Berger, Hunter, dan Timme, 1993).

Mengingat begitu pentingnya perbankan dalan sistem keuangan suatu negara maka praktik perbankan yang benar sangat diharapkan melalui aplikasi GCG sesuai dengan standar internasional dan nasional, sangat mendesak dilakukan otoritas moneter maupun perbankan sendiri.

GCG bank unik
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena bank memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non-keuangan. Keunikan perbankan terutama bila dilihat dari neraca yaitu aset perbankan rata-rata adalah kredit yang sebagian besar bersifat jangka panjang, sedangkan sisi liabilities adalah tabungan dan deposito yang memiliki sifat jangka pendek.
Pengelolaan yang tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan pasiva. Terjadinya mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank.

Khusus untuk pengelolaan kredit maka kredit yang disalurkan tanpa hati-hati akan memunculkan kualitas kredit yang buruk dan akan membawa masalah bagi kesehatan perbankan. Kredit yang buruk, terutama terjadi karena kurang kehati-hatian manajemen (direksi dan komisaris) dalam mengelolanya dan tidak tertutup kemungkinan karena campur tangan pemilik dalam penyaluran kredit kepada pihak terkait.
Penyaluran kredit kepada pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu meminimkan risiko dan sebaliknya akan bersifat negatif jika justru menambah risiko gagal bayar akibat terjadinya moral hazard. Ba-gaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan kepentingan antara pemilik dan manajemen.
Sementara itu, kredit yang buruk dapat disimpan secara akuntansi dalam neraca perbankan untuk periode lama-mengingat sifatnya jangka panjang-sehingga perbankan mengalami kecenderungan vulnerable.
Meredam masalah dalam pengelolaan perbankan yang vital bagi perekonomian itu, maka pengelolaan perbankan berdasarkan prinsip-prinsip GCG tidak dapat dielakkan lagi. Adapun prinsip-prinsip dasar GCG secara global adalah transparansi yang menyangkut keterbukaan informasi dan proses dalam peng-ambilan keputusan.

Akuntabilitas tentang kejelasan fungsi dan tanggung jawab agar pengelolaan bank efektif. Tanggung jawab dalam mematuhi perundang-undangan dan prinsip pengelolaan sehat. Independensi pengelo-laan yang profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder.

Namun, perbankan adalah industri khusus sehingga pengejawantahan lima prinsip GCG itu perlu penafsiran yang tepat oleh Bank Indonesia maupun pelaku bisnis perbankan. Bank sentral tampak tidak tinggal diam dan telah menancapkan berbagai rambu-rambu tata kelola perbankan yang bagus dalam sebuah kerangka sistem yang dijadikan acuan dari segi struktur, mekanisme, dan output. Mereka menetapkan ukuran aplikasi GCG dengan melihat efektivitas fungsi komisaris, direksi, komite audit, kepatuhan, auditor, kecukupan nilai perusahaan dan rencana bisnis, perlakuan terhadap pihak terkait, penerapan transparansi kondisi keuangan dan kondisi non-keuangan.

Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI 8/4/2006 untuk pelaksanaan GCG bagi bank umum guna meningkatkan compliance terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku umum di industri perbankan. Bank Indonesia menyadari bahwa pengelolaan industri perbankan yang buruk menyusul adanya liberalisasi tanpa peraturan dan pengawasan ketat.

Kompleksitas kegiatan usaha perbankan yang melebar menyebabkan risiko perbankan meningkat sehingga aplikasi GCG mendesak dan tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, praktik GCG di tataran internasional sudah menjadi keharusan, demikian pula di tataran nasional juga selayaknya menjadi keharusan.
GCG telah pula dikukuhkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai pilar keempat dengan landasan berpikir bahwa aplikasi GCG akan memperkuat kondisi internal perbankan nasional.

Layaknya polisi lalu lintas, otoritas perbankan telah menerapkan rambu-rambu GCG dan perbankan diharapkan mematuhinya agar tidak kecelakaan, baik karena perbankan menerabas peraturan atau justru pengawasan yang lalai dari otoritas.
Perbankan pun hendaknya tidak segan-segan memberikan masukan kepada otoritas tentang peraturan yang seharusnya dikeluarkan. Ada titik ekuilibrium kepentingan pihak terkait dan regulasi bukanlah menjadi paksaan tetapi keharusan. Masyarakat juga dapat mengawasi otoritas perbankan dan perbankan dalam penerapnya.
Ada baiknya GCG dijadikan budaya perusahaan maupun pemerintahan yang terintegrasi dalam keseharian karena inti dari GCG adalah moral dan etika yang dibarengi dengan perangkat hukum. Seperti penekanan Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah, pelaksanaan GCG adalah kebutuhan, bukan tekanan. GCG untuk semua insan bukan untuk segelintir institusi atau orang.

Analisis saya pribadi : Agar tidak terjadi krisis ekonomi dan untuk meningkatkan perekonomian disuatu negara sangat dibutuhkan Coorporate Governance yang baik. Karena konglomerat yang tidak baik dalam menjalankan usahanya dan pemerintah yang korup dapat menyebabkan buruknya perekonomian di suatu negara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

..WeLCome to My Space..

I want to wholeheartedly and sincerely in the acceptance of giving .. to provide the best for all people including those who hate me .. to respond to live wisely .. I started here ..